Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa harta benda (dzat) atau nilai manfaat. Dengan demikian, dapat dipahami pernyataan Hanafiyah yang mengatakan bahwa manfaat dan hak merupakan kepemilikan, bukan merupakan harta.
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu harta dan kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut istilah ulama fiqh, kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang menghalangi pihak lain bertindak atasnyadan memungkinkan pemiliknya untuk bertransaksi secara langsung di atasnya selama tidak ada halangan syara'. (Zuhaili, 1989, IV, hal.56-57)
Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang dibenarkan syara', maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki kekhususan untuk mengambil manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak ada halangan syara' yang mencegahnya, seperti gila, safih , anak kecil, dan lainnya. Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untk memenfaatkan atau bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali terdapat aturan syara' yang memperbolehkannya, seperti adanya akad wakalah.
Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publk (fasiliyas umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum, perpustakaan umum, dan lainnya. Harta ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki oleh individu, namun ia harus tetap menjad aset publik untuk dimanfaatkan bersama. Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi oleh publik, maka harta tersebut kembali kepadas asalnya, yakni bisa dimiliki oleh individu.
Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimilii kecuali dibenarkan oleh syara'. Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-belikan atau dihibahka, kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal dari pada penghasilan yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah (pengadilan/pemerintahan) boleh memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda tersebut.
Begitu jiuga dengan aset-aset baitul maal atau aset pemerintahan. Aset ini tidak boleh di diperjualbelikan (privatisasi) kecuali ada ketetapan pemerintah yang dilatar belakangiadanya dlarurat atau kemaslahatan yang mendesak. Aset pemerintah layakny harta anak yatimyang tidak boleh ditransaksikan kecuali terdapat kebutuhandan kemaslahatan yang mendesak. Ada juga harta yang bisa dimiliki dengan mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua harta diatas. (Zuhaili, 1989, IV,hal.57-58)
Dilihat dari unsur harta (benda dan manfaat), kepemilikan dapat dibedakan menjadi milk tamm dan milk al-naqish. Milk tamm adalah kepemilikan atas benda seka;igus atas manfaatnya, pemilik memiliki hak mutlak atas kepemilikan ini tanpa dibatasi dengan waktu. Selain itu, kepemilikan ini tidak bisa digugurkan kecuali dengan jalan yang dibenarkan syara', seperti jual beli, mekanisme hukum waris, ataupun wasiat.
Dalam milk al tamm, pemilik memiliki kewenangan mutlak atas harta yang dimiliki. Ia bebas melakukan transaksi, investasi atau hal lainnya, seperti jual beli, hibah, waqf, wasiat, i'arah, ijarah, dan lainnyakarena ia memilikidzat harta benda sekaligus manfaatnya. Jika ia merusak harta yang dimiliki, maka tidak berkewajiban untuk menggantina. Akan tetapi, dari sisi agama, ia bisa mendapatkan sanksi, karena merusak harta benda haram hukumnya.
Sedangkan milk al naqish (kepemilikan tidak sempurna) adalahkepemilikan atas salah satu unsur harta benda saja. Bisa berupa kepemilikian atas manfaat tanpa memiliki bendanya, atau kepemilikan atas bendanya tanpa disertai pemilikan manfaatnya.Milk al naqish dapat dikatagorikan sebagai berikut. (Zuhaili, 1989, IV, hal.59-61)
Sabtu, 26 Februari 2011
Teori Harta
Harta (al-maal) merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, unsur dlaruri yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dengan harta, manusia bisa memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat materi ataupun immateri. Dalam kerangka memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan horizontal antar manusia (mu'amalah), karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna dan dapat memenuhi kebutuhanna sendiri, akan tetapi saling membutuhkan terkait dengan manusia lainnya.
Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai obyek transaksim harta bisa dijadikan sebagai obyek dalam transaksi jual beli, sewa-menyewa, partnership (kontrak kerjasama), atau transaksi ekonomi lainnya. Selain itu, dilihat dari karakteristik dasarnya (nature), harta juga bisa dijadikan sebagai obyek kepemilikan, kecuali terdapat faktor yang menghalanginya.
Definisi Harta
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal, 40), secara linguistik, al maal didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya (fi'il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti; komputer, lamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau pin tempat tinggal.
Berdasarkan definisi ini, sesuatu akan dikatakan sebagai al-maal, jika memenuhi dua kriteria;
Pendapat Hanafiyah
Menurut Hanafiyah, al-maal adalah segala sesuatu yang mungkin dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan. Pendapat ini mensyaratkan dua unsur yang harus terdapat dalam al-maal;
Hak dan Manfaat
Madzhab Hanafi meringkas definisi harta padasesuatu dzat yangbersifatmateri.Dlamarti memiliki bentuk yangdapat dilihat atau diraba. Dengan demikian, hak dan manfaat tidak termasuk dalam katagori harta, akan tetapi merupakan kepemilikan^15
Berbeda dengan ulama fiqh selain Hanafiyah. Menurut mereka, hak dan manfaat termasuk harta. Dengan alasan, maksud dan tujuan memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang dapat diterima bukan karena dzatnya. atas dasar adanya manfaat tresebut manusia berusaha untuk menjaga dan menyimpan kemanfaatan yang inheren dalam dzat tersebut
Yang dimaksud dengan manfaat adalah faidah atau fungsi yang terdapat dalam suatu dzat (benda, materi), seperti menempati rumah, mengendarai mobil, atau memakai pakaian. Dalam arti, dengan memiliki mobil, maka manfaat yang bisa dirasakan adalah kita bisa mengendarainya ke suatu tempat yang kita inginkan. Dengan memiliki pakaian, maka kita bisa memakainya untuk menutup aurat, dan seterusnya, ini adalah manfaat.
Jadi, sebenarnya maksud dari memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang kita dapat rasakan, bukan karena dzatnya. Jika misalnya,mobil yangkitamiliki sudah tidak bisa kita kendarai, tentunya mobil tersebut tidak akan kita pakai lagi, walaupun secara fisik mungkin masih terlihat bagus.
Sedangkan hak adalah sesuatu yangtelah ditatapkan oleh syara' terhadap seseorang untuk diberi kekhususan atas suatu kekuasaan atau suatu beban hukum tertentu.Artinya, dengan adanya hak, seseorang memiliki kekuasaan atau kekebal;an hukum atas sesuatu yang diakui oleh syara'. Pemilik hak tersebut memiliki wewenang atau kuasa penuh atas barang yangtelah dibenarkan oleh syara' untuknya. Terkadang hak itu berhubungan dengan harta, seperti hakkepemilikan, hak untuk merawat dan memelihara kebun, dan lainnya. Tpi, terkadang juga tidak berhubungan dengan harta, seperti hak untuk merawat anak.
Manfaat dah hak yangterkait dengan harta, atau pun hak yang tidak terkait dengan harta, menurut pandangan hanafiyah tidak termasuk dalam katagori harta. Karena tidak dimungkinkan untuk meiliki dan menyimpan dzatnya ('ain). Selain itu, manfaat dan hakbersifat maknawi (ingtangible), tidak permanen dan akan berkurang secara bertahap.
Menurut jumhur ulama, hak dan manfaat tetap merupakan harta, karena bisa dimungkinkanuntuk memiliki dan menjaganya, yaitu dengan menjaga asaldan sumbernya. Dengan alasan, karena ada hak dan manfaatlah seseorang bermaksud untuk memiliki suatu benda (dzat, materi). Dan karenanya, orang suka dan berlomba untuk mendapatkannya. Jika sudah tidak terdapat manfaat dan hak pada suatu benda, maka tidak mungkin orang akan mengejar untuk memiliki suatu benda.
Berdasarkan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa substansi seseorang memilii banda (dzat, materi) adalah karena adanya unsur manfaat, jika manfaat itu telah tiada, maka ia akan cenderung untuk meninggalkannya.
Adanya perbedaan pandangan ini mempunyai implikasi hukum tertentu, khususnya dalam hal ghasab(menggunakan barang orang lain tanpa izin pemilik), ijarah (sewa-menyewa) atau pun hukum waris. Menurut Hanafiyah, orang yang meng-ghasab barang orang lain dalam kurun waktu tertentu , kemudian barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, maka orang yang meng-ghasab tersebut tidak berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat yang telah dipakai.Dengan catatan, barang tersebut masih utuh dan bukan milik anak yatim , barang waqf, atau barang yang secara khusus dimaksudkan untuk dikomersilkan. Berbeda dengan jumhur ulama, si peng-ghasab berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat selama ia menggunakan barang ghasab tersebut.
Menurut Hanafiyah, akad ijarah dengan sendirinya akan selesai (berhenti) dengan meninggalnya pemilik barang yang disewakan, karena manfaat bukan harta, sehingga dapat diwariskan. Mayoritas ulama fiqh mengatakan,akadijarah tetap berlangsung, walaupun pemiliknya telah meninggal dunia sampai batas waktu yang telah disepakati dalam akad.
Pembagian Harta
Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan.
Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk menggantinya.
Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim.
Impilikasi hukum
Dengan adanya pembagian harta menjadi mutaqawwim dan ghair mutaqawwim terdapat implikasi hukum yang harus diperhatikan:
Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya.
Jika tanah yang terdapat bangunannya dijual, maka tanah dan bangunan tersebut merupakan harta 'iqar. Namun, jika bangunan atau tanaman dijual secara terpisah dari tanahnya, maka bangunan tersebut bukan merupakan harta 'iqar. Intinya, menurut Hanafiyah, harta 'iqar hanya terfokus pada tanah, sedangkan manqul adalah harta selain tanah.
Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderungmempersempit makna harta manqul, dan memperluas makna harta iqar. Menurut malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat ketempat lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik semula, seperti kendaraan, buku, pakaian, dan lainnya. Sedangkan 'iqar adalah harta yang secara asal tidak mungkin bisa dipindah atau ditransfer. seperti tanah, atau mungkin dapat dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya, seperti pohon, ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan kayu.
Dalam perkembanganya, harta manqul dapat berubah menjadi harta 'iqar, dan begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata, semula merupakan harta manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan berubah menjadi harta 'iqar. Begitu juga dengan batu bara, minyak bumi, emas, ataupun barang tambang lainnya, semula merupakan harta 'iqar, akan tetapi setelah berpisah dari tanah berubah menjadi harta manqul.
Implikasi hukum
Dengan adanya pembagian harta menjadi 'iqar dan manqul, akan terdapat beberapa implikasi hukumsebagai berikut
Dalam perjalanannya, harta mistsli bisa berubah menjadi harta qimi atau sebaliknya;
Dengan adanya pembagian harta mitsli dan qimi, memiliki implikasi sebagai berikut;
Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan membelanjakanya. Ketika uang tersebut keluar dari sakudan genggaman sang pemilik, maka uang tersebut inyatakan hilang dan hangus, karena sudah menjadi milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya masih tetap sama. Intinya, harta istikhlaki adalah harta yang hanya bisa dikonsumsi sekali saja.
Al maal al isti'mali adalah harta yang mungkin untuk bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan, kendaraan, pakaian, dan lainnya. Berbeda dengan istikhlaki, harta isti'mali bisa dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa kali.
Implikasi hukum
Harta istikhlaki bisa ditransaksikan dengan tujuan konsumsi, tidak bisa misalnya kita meminjamkan dan atau menyewakan makanan. Sebaliknya, harta isti'mali bisa digunakan sebagai obyek iijarah (sewa). Namun demikian kedua harta tersebut bisa dijadikan sebagaiobyek jual beli atau titipan ^16
Disamping itu, Mustafa A. Zarqa juga membagi harta menjadi maal al ashl dan maal al tsamarah. Yang dimaksud dengan maal al ashl adalah harta benda yang dapat menghasilkan harta lain. Sedangakan harta maal al tsamarahadalah harta benda yang tumbuh atau dihasilkan dari maal al ashl tanpa menyebabkan kerusakan atau kerugian atasnya. Misalnya sebidang kebun menghasilkan buah-buahan. Maka, kebun merupakan maal al ashl, sedang buah-buahan merupakan maal al tsamarah (Zarqa,III,HAL.217-218).
Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi hukum sebagai berikut;
^15 Pembahasan terkait dengan hak dan manfaat, penulis ambil dari Zuhaili,1989,IV,hal42-43.
^16 Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pembagian harta dan implikasinya, dapat dilihat dalam Zuhaili,1989,hal.43-55.
Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai obyek transaksim harta bisa dijadikan sebagai obyek dalam transaksi jual beli, sewa-menyewa, partnership (kontrak kerjasama), atau transaksi ekonomi lainnya. Selain itu, dilihat dari karakteristik dasarnya (nature), harta juga bisa dijadikan sebagai obyek kepemilikan, kecuali terdapat faktor yang menghalanginya.
Definisi Harta
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV, hal, 40), secara linguistik, al maal didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh manusia dengan sebuah upaya (fi'il), baik sesuatu itu berupa dzat (materi) seperti; komputer, lamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan lainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau pin tempat tinggal.
Berdasarkan definisi ini, sesuatu akan dikatakan sebagai al-maal, jika memenuhi dua kriteria;
- Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga pada akhirnya bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut, baik bersifat materi atau immateri
- Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan manusia. Konsekuensinya, jika tidak bisa atau belum dimiliki, maka tidak bisa dikatakan sebagai harta. Misalnya, burung yang terbang diangkasa, ikan yang berada di lautan, bahan tambang yang berada di perut bumi, dan lainnya.
Pendapat Hanafiyah
Menurut Hanafiyah, al-maal adalah segala sesuatu yang mungkin dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan. Pendapat ini mensyaratkan dua unsur yang harus terdapat dalam al-maal;
- Dimungkinkan untuk dimiliki, disimpan, dengan demikian al-maal harus bersifat tangible. Sesuatu yang bersifat ingtanguble seperti, ilmi, kesehatan, kompetisi, prestise, image, dan lainnya tidak bisa dikatagorikan sebagau al-maal. Selanjutnya, sesuatu itu harus bisa dikuasai dan disimpan, oksigen (berbeda dengan oksigen yang telah dimasukkan dalam tabung oksigen), cahaya matahari dan rembulan tidak bisa dikatagorikan sebagai al-maal.
- Secara lumrah (wajar), dimungkinkan untuk diambil manfaatkan, seperti ;daging bangkai, makanan yang sudaj expire, yang telah rusak, maka tidak bisa dikatakan sebagai al-maal. Dalam kondisi darurat, boleh saja kita mengkonsumsi barang tersebut dan, mungkin bisa mendatangkan manfaat, namun demikian, hal tersebut tidak bisa secara langsung megubah barang tersebut menjadi al-maal, karena hal ini merupakan bentuk pengecualian (istitsna' ).
- Selain itu, kemanfaatan yang ada pada sesuatu itu haruslah merupakan manfaat yang secara umum dapat diterima masyarakat. Sebutir nasi atau setetes air tudak dianggap bisa mendatangkan manfaat, berbeda jika jumlah kuantitasnya besar.
Sifat maaliah (sesuatu yang dianggap sebagai harta) akan tetap melekat pada sesuatu, sepanjang sesuatu itu masih dimanfaatkan atau diberdayakan olehmasyarakat atau sebagian dari mereka. Khamr (arak, miras), anjing, babi, mungkin masih bisa dimanfaatkan oleh non-muslim.
bagi kaumborjuis,pakaian bekasmungkin sudahtidak memiliki arti, namun bagi orang yang tinggal dilorong jembatan, pakaian bekas itu masih memiliki arti dan manfaat bagi kehidupannya. Dengan demikian, dalam konteks ini, pakaian bekas tersebut masih bisa dikatalan sebagai al-maal. Berbeda jika pakaian tersebut sudah ditinggalkan oleh seluruh masyarakat, tidak terdapat sedikitpun yang mau atau bisa memanfaatkannya.
Ibnu Abidin ( madzhab Hanafi, Raddul Mukhtar,IV, hal.3) mengatakan, al-maal adalah segala sesuatu yang di-preferansi-kan (gandrungi) oleh tabiat manusia, dan dimungkinkan untuk disimpan hingga saatdi butuhkan, baik dapat dipindah (Manqul) ataupun tidak(gairu manqul).
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV,hal.41), definisi ini bukanlah pengertian yang komprehensif, sayur-sayuran dan buah-buahan bisa dikatakan al-maal,walaupun tidak bisa disimpan, karena cepat rusak. Begitu juga dengan hewan buruan, kayu di hutan tetap bisa dikatakan sebagai al-maal ,walaupun belum dimiliki atau disimpan. Obat-obatan juga bisa dimasukkan dalam katagori harta, walupun manusia menolak untuk mengkonsumsinya.
Pendapat Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama fiqh, al-maal adalah segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana bagi orang yang merusaknya, berkewajiban untuk menanggung atau menggantinya. Lebih lanjut Imam Syafii mengatakan, al-maal dikhususkan pada sesuatu yang bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi bagi yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini,al-maal haruslah sesuatu yangdapat merefleksikan sebuah nilai finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan satuan moneter(Zuhaili,1989,IV, hal.42).
Menanggapi persoalan definisi harta,Mustafa Ahmad Zarqa (1984,hal289) menegaskan, memang terdapat perbedaan mendasar antara pandangan syariah dengan qanun (hukum). Menurut beliau,sesuatu itu dikatakan harta (al-maal) jika memenuhi dua syarat, yaitu;
- Sesuatu itu harus berwujud materi dan bisa di raba,
- Biasanya manusia akan berusaha untuk meraihnya, dan menjaganya agartidak diambil ataudimiliki orang lain. Dengan demikian harta itu haruslah memiliki nilai materi.
Hak dan Manfaat
Madzhab Hanafi meringkas definisi harta padasesuatu dzat yangbersifatmateri.Dlamarti memiliki bentuk yangdapat dilihat atau diraba. Dengan demikian, hak dan manfaat tidak termasuk dalam katagori harta, akan tetapi merupakan kepemilikan^15
Berbeda dengan ulama fiqh selain Hanafiyah. Menurut mereka, hak dan manfaat termasuk harta. Dengan alasan, maksud dan tujuan memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang dapat diterima bukan karena dzatnya. atas dasar adanya manfaat tresebut manusia berusaha untuk menjaga dan menyimpan kemanfaatan yang inheren dalam dzat tersebut
Yang dimaksud dengan manfaat adalah faidah atau fungsi yang terdapat dalam suatu dzat (benda, materi), seperti menempati rumah, mengendarai mobil, atau memakai pakaian. Dalam arti, dengan memiliki mobil, maka manfaat yang bisa dirasakan adalah kita bisa mengendarainya ke suatu tempat yang kita inginkan. Dengan memiliki pakaian, maka kita bisa memakainya untuk menutup aurat, dan seterusnya, ini adalah manfaat.
Jadi, sebenarnya maksud dari memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang kita dapat rasakan, bukan karena dzatnya. Jika misalnya,mobil yangkitamiliki sudah tidak bisa kita kendarai, tentunya mobil tersebut tidak akan kita pakai lagi, walaupun secara fisik mungkin masih terlihat bagus.
Sedangkan hak adalah sesuatu yangtelah ditatapkan oleh syara' terhadap seseorang untuk diberi kekhususan atas suatu kekuasaan atau suatu beban hukum tertentu.Artinya, dengan adanya hak, seseorang memiliki kekuasaan atau kekebal;an hukum atas sesuatu yang diakui oleh syara'. Pemilik hak tersebut memiliki wewenang atau kuasa penuh atas barang yangtelah dibenarkan oleh syara' untuknya. Terkadang hak itu berhubungan dengan harta, seperti hakkepemilikan, hak untuk merawat dan memelihara kebun, dan lainnya. Tpi, terkadang juga tidak berhubungan dengan harta, seperti hak untuk merawat anak.
Manfaat dah hak yangterkait dengan harta, atau pun hak yang tidak terkait dengan harta, menurut pandangan hanafiyah tidak termasuk dalam katagori harta. Karena tidak dimungkinkan untuk meiliki dan menyimpan dzatnya ('ain). Selain itu, manfaat dan hakbersifat maknawi (ingtangible), tidak permanen dan akan berkurang secara bertahap.
Menurut jumhur ulama, hak dan manfaat tetap merupakan harta, karena bisa dimungkinkanuntuk memiliki dan menjaganya, yaitu dengan menjaga asaldan sumbernya. Dengan alasan, karena ada hak dan manfaatlah seseorang bermaksud untuk memiliki suatu benda (dzat, materi). Dan karenanya, orang suka dan berlomba untuk mendapatkannya. Jika sudah tidak terdapat manfaat dan hak pada suatu benda, maka tidak mungkin orang akan mengejar untuk memiliki suatu benda.
Berdasarkan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa substansi seseorang memilii banda (dzat, materi) adalah karena adanya unsur manfaat, jika manfaat itu telah tiada, maka ia akan cenderung untuk meninggalkannya.
Adanya perbedaan pandangan ini mempunyai implikasi hukum tertentu, khususnya dalam hal ghasab(menggunakan barang orang lain tanpa izin pemilik), ijarah (sewa-menyewa) atau pun hukum waris. Menurut Hanafiyah, orang yang meng-ghasab barang orang lain dalam kurun waktu tertentu , kemudian barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, maka orang yang meng-ghasab tersebut tidak berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat yang telah dipakai.Dengan catatan, barang tersebut masih utuh dan bukan milik anak yatim , barang waqf, atau barang yang secara khusus dimaksudkan untuk dikomersilkan. Berbeda dengan jumhur ulama, si peng-ghasab berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat selama ia menggunakan barang ghasab tersebut.
Menurut Hanafiyah, akad ijarah dengan sendirinya akan selesai (berhenti) dengan meninggalnya pemilik barang yang disewakan, karena manfaat bukan harta, sehingga dapat diwariskan. Mayoritas ulama fiqh mengatakan,akadijarah tetap berlangsung, walaupun pemiliknya telah meninggal dunia sampai batas waktu yang telah disepakati dalam akad.
Pembagian Harta
- Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim
Atau harta tersebut tidak diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti minuman keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa menyelamatkan hidup, tidak boleh berlebihan.
Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim, ini menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang muslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban untuk menggantinya.
Berbeda dengan mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang hidup di daerah Islam harus tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan bermuamalah. Apa yang diperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi non-muslim, dan apa yang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim.
Impilikasi hukum
Dengan adanya pembagian harta menjadi mutaqawwim dan ghair mutaqawwim terdapat implikasi hukum yang harus diperhatikan:
- Sah atau tidaknya harta tersebut menjadi obyek transaksi. Al-maal al mutaqawwim bisa dijadikan obyek transaksi, dan transaksi yang dilakukan sah adanya. Misalnya jual beli, sewa-menyewa, hibah, syirkah, dan lainnya. Untuk ghair mutaqawwim, tidak bisa dijadikan obyek transaksi, maka transaksinya rusak atau batal adanya. Al-maal al mutaqawwimsebagaiobyek transaksi, merupakan syarat sahnya sebuah transaksi.
- Adanya kewajiban untuk menggantinya, ketika terjadi kerusakan. Jika harta mutaqawwim dirusak, maka harus diganti. Jika terdapat padanannya, maka harus dganti semisalnya, namun tidak bisa diganti sesuai dengan nilainya.
- Jika harta ghair mutaqawwim dimiliki oleh seorang muslim, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Berbeda dengan non-muslim (yang hidup dalam daerah kekuasaan Islam), jka hewan babinya dibunuh, atau minuman kerasnya dibakar, maka ada kewajiban untuk menggantinya, karena keduanya merupakan al-maal al mutaqawwim bagi kehidupan mereka, ini merupakan pandangan ulama fiqh Hanafiyah
- 'Iqar dan Manqul
Sedangkan 'iqar adalah sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya.
Jika tanah yang terdapat bangunannya dijual, maka tanah dan bangunan tersebut merupakan harta 'iqar. Namun, jika bangunan atau tanaman dijual secara terpisah dari tanahnya, maka bangunan tersebut bukan merupakan harta 'iqar. Intinya, menurut Hanafiyah, harta 'iqar hanya terfokus pada tanah, sedangkan manqul adalah harta selain tanah.
Berbeda dengan Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderungmempersempit makna harta manqul, dan memperluas makna harta iqar. Menurut malikiyah, manqul adalah harta yang mungkin untuk dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat ketempat lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik semula, seperti kendaraan, buku, pakaian, dan lainnya. Sedangkan 'iqar adalah harta yang secara asal tidak mungkin bisa dipindah atau ditransfer. seperti tanah, atau mungkin dapat dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya, seperti pohon, ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan kayu.
Dalam perkembanganya, harta manqul dapat berubah menjadi harta 'iqar, dan begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata, semula merupakan harta manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan berubah menjadi harta 'iqar. Begitu juga dengan batu bara, minyak bumi, emas, ataupun barang tambang lainnya, semula merupakan harta 'iqar, akan tetapi setelah berpisah dari tanah berubah menjadi harta manqul.
Implikasi hukum
Dengan adanya pembagian harta menjadi 'iqar dan manqul, akan terdapat beberapa implikasi hukumsebagai berikut
- Dalam harta 'iqar terdapat hak syuf'ah, sedangkan harta manqul tidak terdapat di dalamnya, kecuali hartamanqul tersebut menempel pada harta 'iqar.
- Menurut Hanafiyah, harta yang diperbolehkan untuk di -waqaf-kan adalah harta 'iqar. Harta manquldiperbolehkan jika menempel atauikut terhadap harta 'iqar, seperti me-waqaf-kan tanah beserta bangunan, perabotan, dan segala sesuatu yang terdapat di atasnya. Atau harta manqul yang secara umum sudah menjadi obyek waqaf, seperrti mushaf, kitab-kitab, atau peralatan jenazah. Berbeda dengam jumhur ulama, menurut mereka. kedua macam harta tersebut dapat dijadikan sebagai obyek waqaf.
- Seorang wali tidak boleh menjual harta 'iqar atas orang yang berada dalam tanggungannya, kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkan syara', seperti untuk membayar hutang, memenuhi kebtuhan darurat, atau kemaslahatan lain yang bersifat urgen. Alangkah baiknya jika harta manqul yang lebih diprioritaskanuntuk dijual, karena harta 'iqar diyakini memiliki kemaslahatan lebih besar bagi pemilikinya, jadi tidak mudah untuk menjualnya.
- Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf, harta ;iqar boleh ditransaksikan, walaupun belum diserahterimakan. Berbeda dengan harta manqul, ia tidak bisa ditransaksikan sebelum ada serah-terima, karena kemungkinan terjadinya kerusakan sangat besar.
- Mitsli dan Qilmi
- Al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti; gandu, terigu, beras;
- Al mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti; kapas, besi, tembaga;
- Al 'adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung) seperti; pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti; mobil yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya;
- Al dzira'iyat (sesuatuyang dapat diukur dan memiliki persamaan atas bagian-bagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat perbedaan atas juz-nya (bagian), maka dikatagorikan sebagai harta qimi, seperti tanah
Dalam perjalanannya, harta mistsli bisa berubah menjadi harta qimi atau sebaliknya;
- Jika harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi kelangkaan atau scarcity), maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi,
- Jika terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis yang berbeda, seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobiltersebut menjadi harta qimi,
- Jika harta qimi terdapat anyak padanannya di pasaran, maka secara otomatis menjadi harta mitsli.
Dengan adanya pembagian harta mitsli dan qimi, memiliki implikasi sebagai berikut;
- Harta mitsli bisa menjadi tsaman (harga) dalam jual-beli hanya dengan menyebutkan jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak bisa menjadi tsman. Jika harta qimi dikaitkan dengan hak-hak finansial, maka harus disebutkan secara detail, karena hal itu akan mempengaruhi nilai yang dicerminkannya, seperti domba Australia, tentunya akan berbeda nilainya dengan domba Indonesia, walaupun mungkin jenis dan sifatnya sama.
- Jika harta mitsli dirusak oleh orang, maka wajib diganti dengan padanannya yang mendekati nilai ekonomisnya (finansial), atau sama.
- Tapi jika harta qimi dirusak, maka harus diganti sesuai dengan keinginanya, walaupun tanpa izin dari pihak lain. Berbeda dengan harta qimi walaupun mungkin jenisnya sama, tapi nilainya bisa berbeda, dengan demikian pengambilan harus atas izin orang-orang yang berserikat.
- Harta mitsli rentan dengan riba fadl. Jika terjadi pertukara diantara harta mitsli, dan tidak terdaat persamaan dalam kualitas, kuantitas, dankadarnya, maka akan terjebak dalam riba fadl. Berbeda dengan harta qimiyang relatif resisten terhadap riba. Jika dipertukarkan dan terdapatperbedaan, maka tidak ada masalah. Diperbolehkan menjual satu domba dengan dua domba.
- Istikhlaki dan Isti'mali
Adapun untuk uang, cara mengkonsumsinya adalah dengan membelanjakanya. Ketika uang tersebut keluar dari sakudan genggaman sang pemilik, maka uang tersebut inyatakan hilang dan hangus, karena sudah menjadi milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik, bentuk dan wujudnya masih tetap sama. Intinya, harta istikhlaki adalah harta yang hanya bisa dikonsumsi sekali saja.
Al maal al isti'mali adalah harta yang mungkin untuk bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan, rumah kontrakan, kendaraan, pakaian, dan lainnya. Berbeda dengan istikhlaki, harta isti'mali bisa dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa kali.
Implikasi hukum
Harta istikhlaki bisa ditransaksikan dengan tujuan konsumsi, tidak bisa misalnya kita meminjamkan dan atau menyewakan makanan. Sebaliknya, harta isti'mali bisa digunakan sebagai obyek iijarah (sewa). Namun demikian kedua harta tersebut bisa dijadikan sebagaiobyek jual beli atau titipan ^16
Disamping itu, Mustafa A. Zarqa juga membagi harta menjadi maal al ashl dan maal al tsamarah. Yang dimaksud dengan maal al ashl adalah harta benda yang dapat menghasilkan harta lain. Sedangakan harta maal al tsamarahadalah harta benda yang tumbuh atau dihasilkan dari maal al ashl tanpa menyebabkan kerusakan atau kerugian atasnya. Misalnya sebidang kebun menghasilkan buah-buahan. Maka, kebun merupakan maal al ashl, sedang buah-buahan merupakan maal al tsamarah (Zarqa,III,HAL.217-218).
Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi hukum sebagai berikut;
- Pada prinsipnya, harta wakaf tidk dapat dimiliki atau ditasharrufkan menjadi milik peorangan, namun hal serupa dapat dilakukan terhadap hasil harta wakaf.
- Harta yang dipruntukkan bagi kepentingan dan fasilitas umum, seerti jalan dan pasar,pada prinsipnya tidak dapat dimiliki oleh erseorangan. Sedangkan penghasilan dari harta umum ini dapat dimiliki (Mas'adi,2002, hal.27-28)
^15 Pembahasan terkait dengan hak dan manfaat, penulis ambil dari Zuhaili,1989,IV,hal42-43.
^16 Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pembagian harta dan implikasinya, dapat dilihat dalam Zuhaili,1989,hal.43-55.
Teori Hak
Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka akan tumbul hak dan kewajiban yang mengikat keduanya. Dalam hal jual beli misalnya, ketika kesepakatan telah tercapai, maka akan muncul hak dan kewajiban. Yakni, hak pembeli untuk menerima barang, dan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang. Atau, kewajiban pembeli untuk menyerahkan harga barang (uang), dan hak penjual untuk menerima uang. Dalam konteks ini, akan dibahas segala sesuatu yang terkait dengan hak.
Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq' yang memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau 'kewajiban' hal ini bisa dipahami dari firman Allah dalam QS. Al Anfal:8 atau juga dalam QS. Yunus:35
Secara istilah, hak memiliki beberapa pengertian dari para ahli fiqh. Menurut ulama kontemporer Ali Khofif, hak adalah sebuah kemashlahatan yang boleh dimiliki secara syar'i. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa , hak adalah sebuah keistimewaan yang dengannya syara' menetapkan sebuah kewenangan (otoritas) atau sebuah beban (taklif). (Zuhaili, 1989, IV, hal.9)
Dalam definisi ini, hak masuk dalam ranah religi, yakni hak Allah atas hamba-Nya untuk beribadah, seperti shalat, puasa, zakat dan lainnya. Atau juga masuk dalam hak kehidupan madani, seperti hakkepemilikan, atau hak yang bersifat etik, seperti hak untuk ditaati bagi orang tua, hak untuk dipathi seorang isteri bagi seorag suami. Atau juga masuk dalam ranah publik, seperti hak pemerintah untuk dipatuhi rakyatnya, atau hak-hak finansial, seperti hak menerima nafkah, dan lainnya.
Kata kewenangan dalam defiisi di atas, adakalanya berhubungan dengan seseorang, seperti hak untuk dirawat (hadlanah) atau juga berhubungan dengan sesuatu yang definitif, seperti hak kepemilikan. Sedangkan kata 'taklif'adakalanya merupakan sebuah kewajiban atas diri manusia yang bersifat finansial, seperti membayar hutang, atau merealisasikan sebuah tujuan tertentu, seperti seoarang pekerja yang harus menyelesaikan pekerjaannya.
Dalam ajaran islam, hak adalah pemberian ilahi yang disandarkan pada sumber-sumber yang dijadkan sebagai sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara' . Dengan demikian, sumber hak adalah kehendak atau ketentuan hukum syara'. tidak akan ditemukan sebuah hak syar'i tanpa adanya dalil syar'i yang mendukungnya
Dengan demikian, sumber hak adalah Allah SWT, karena tiada haim selain dia, tiada dzat yang berhak untuk mensyariatkan sesuatu, selain Allah.Tiada syariat yang dijalankan manusia, kecuali syariat-Nya. Untuk itu, manusia memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Di samping itu, pemilik hak harus menggunakan haknya secara proporsional, sehingga tidak menimbulkan kemudlaratan bagi orang lain.
Hak Allah
Adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyembah dan mengabdi pada-Nya, menegakkan syariat agama-Nya. Seperti segala bentuk ritual ibadah yang beragam, dari shalat, puasa, zakat, haji,amar ma'ruf nahi mungkar, dan ibadah lain yang sejenis. Atau bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat publik yang tidak dikhususkan ada individu tertentu, seperti penegakkan hukum potong tangan bagi pencuri, penegakkan hukum atau had bagi para pezina, pemabuk atau pelaku tindak kriminal lainnya.
Hak Allah ini tidak bisa dilanggar ataupun digugurkan, tidak bisa ditolerir taupun dirubah. Had potong tangan bagi pencuri, tidak bisa digugurkan hanya arena orang yang kecurian memaafkan kesalahan pencuri. Selain itu, hak Allah ini tidak bisa diwaiskan. Ahli waris tidak diwajibkan untuk menanggung ibadajh yang yang ditinggalkan pewaris, kecuali mendapat wasiat, ahli waris juga tidak akan ditanya tentang kejahatan dan dosa pewaris
Hak Anak Adam
Adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk menjaga kemashlahatan seseorang. Bisa bersifat umum, seperti menjaga kesehatan, merawat anak, harta benda, mewujudkan rasa aman, mencegah tindak kriminal, menghilangkan permusuhan, dan lainnya. Atau bersifat khusus, seprti menjaga kepemilikan, hak penjual atas harga dan hak pembeli atas obyek transaksi, hak ganti rugi seseorang yang hartanya dirusak, hak seorang isteri atas nafkah suami, dan lainnya. Hak anak dam bisa dilepaskan atau digugurkan dengan alasan tertentu, bisa juga diwariskan.
Hak anak Adam bisa dikatagorikan dengan hak yang bisa digugurkan dan hak yang tidak bisa digugurkan. Secara asal, hak anak Adam bisa digugurkan, berbeda dengan dzat (benda). Seperti qishas dan hak syuf'ah atau hak khiyar. Ada pun hak anak Adam yang tidak bisa digugurkan adalah sebagai berikut
Ulama hanafiyahmenyatakan, hak dan manfaat tidak bisa diwariskan. Karena, hukum waris hanya terkait dengan harta benda, sedangkan hak dan manfaat bukanlah harta. Ada pun hutang bisa diwariskan, karena ia merupakan harta secara hukum, dan bisa ditemukan dalam kekayaanorang yang berhutang. Ulama selain mdzhab Hanafiyah menyatakan, hak, manfaat dan hutang bisa diwariskan, karena semuanya merupakan harta. Hal ini dilandaskan pada sabda Rasululullah SAW:"Barang siapa meningalkan harta atau hak, maka untuk ahli warisnya, dan barang siapa meninggalkan beban atau keluarga, maka menjadi tanggunganku" (HR. Bukhati Muslim (Zuhaili, 1989, IV, hal. 18
Hak Musytarak
Persekutuan antara hak Allah dan hak anak Adam. Namun adakalanya hak Allah yang dimenangkan, dan sebaliknya. Misalnya masa iddah seorang isteri yang dicerai, dalam hal ini terdapat dua hak. Hak Allah berupa menjaga pencampuran nasab, dan hak manusia berupa menjaga nasab anaknya. Dalam konteks ini, hak Allah dimenangkan, karena menjaga pencampuran nasab lebih umum kemanfaatannya bagi masyarakat publik.
Contoh kedua, hak qishas bagi wali orang yang terbunuh. Dlam hak ini terdapat hak Allah, yakni membebaskan manusia dari tindak kriminal pembunuhan. Selain itu, terdapat hal wali orang yang terbunuh, yakni menghilangkan amarah dan kejengkelan, serta menenangkan hatinya dengan matinya orang yang membunuh keluarganya. Dalam konteks ini, hak anak Adam yang dimenangkan, karena tendensi diadakannya qishas adalah adanya persamaan.
Dalam contoh kedua, hak anak Adam yang dimenangkan. Implikasinya adalah hak tersebut bisa dinegoisasikan, wali orang yang terbunuh, dibolhkan untuk memaafkan dosa pembunuh, bisa diupayakan jalan damai dengan kompensasi yang disepakati, atau jalan lain yang disetujui bersama. (Zuhaili,1989, IV, HAL.13-17)
Hak Finansial
Adalah hak yang terkait dengan harta dan kemanfaatannya, hak yang obyeknya berupa harta atau manfaat. Seperti hak seorang penjual atas harga barang (uang), hak seorang pembeli atas obyek transaksi, hak syuf'ah, hak khiyar,hak penyewa untuk menempati rumah dan lainnya
Adapun hak non-finansial adalah hak yang terkait dengan segala sesuatu selain harta, seperti hak qishas, hak untuk hidup bebas, hak wanita untuk talak karena tdak diberi nafkah, hak sosial atau politik, dan lainnya
Hak Sykhsi dan Hak Aini
Hak syakhsi adalah hak yang ditetapkan syara' untuk kepentingan seseorang atas orang lain, seperti hak seorang penjual atas diserahkannya harga barang (uang) atau hak seorang pembeli atas diserahkannya obyek transaksi, hak seorang atas hutang, kompensasi finansial atas barang yang di ghasab atau dirusak, hak seorang isteri dan kerabat atas nafkah, atau hak seorang penitip atas barang yang dititipkan, untuk tidak digunakan oleh orang yang dititipi.
Hak 'aini adalah kewenangan yang ditetapkan syara' untuk seseorang atas suatu benda, seperti hak milik. Seorang pemilik benda memiliki kewenangan secara langsung atas harta benda yang dimilikinya. Ia memiliki kewenangan untuk memanfaatkan barangnya sesuai dengan kehendaknya, dan memiliki keistimewaan untuk menghalangi orang lain memanfaatkanya tanpa seizin pemiliknya
Dengan adanya pembagian hak syakhsi dan hak 'aini terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan;
Hak Diyani dan Qadlai
Dari segi kewenangan hakim, hak dibagi menjadi hak diyani (hak keagamaan) dan hak qadlai (hak kehakiman). Hak diyani adalah hak-hak yang pelaksanaannya tidak dapat dicampuri atau diintervensi oleh kekuasaan negara atau kehakiman. Misalnya, dalam hal hutang ayau transaksi lainnya yang tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan. Sekalipun demikian, di hadapan Allah tanggung jawab berhutang tetap ada, dan dituntut untuk melunasinya, sekalipun pengadilan memutuskan ia bebas dari tuntutan hutang.
Sedangkan hak qadlai adalah seluruh hak yang tunduk di bawah aturan kekuasaan kehakiman sepanjang si pemilik hak tersebut mampu dan membuktikan haknya di depan pengadilan.
Selain unsur lahiriyah. yakni perbuatan, unsur batiniyyah seperti niat dan esensi (hakikat) merupakan unsur penting dalam hak diyani. Sedangkan dalam hak qadlai semata dibangun berdasarkan kenyataan lahiriyah dengan mengabaikan unsur niat dan hakikat suatu perbuatan.
Seorang suami yang menjatuhkan talak terhadap isterinya secara ceroboh (khoto') dan tidak dimaksudkan secara sungguh-sungguh untuk menceraikannya, seorang hakim wajib memvonis hukum talak berdasarkan unsur lahiriyah. Yang demikian hukum qadlai. Sedang hukum diyani bisa jadi tidak jatuh talaknya, karena tidak ada niat mentalak. Oleh karena itu seseorang tidak diperkenankan bermain-main dengan kedua hak ini. (Zuhaili,1989,IV, hal. 22)
Antara Hak dan Iltizam
Substansi hak sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak lain dari sisi penerima dinamakan hak, sedang pelaku disebut iltizam. Secara bahasa, iltizam bermakna keharusan atau kewajiban. Sedangkan secara istilah adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu, atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.
Pihak yang terbebani oleh hak orang lain dinamakan multazim, sedang pemilik hak dinamakan multazam ataushahibul haqq. Antara hak dan iltizam terdapat keterkaitn dalam sebuah hubungan timbal balik antara perbuatan menerima dan memberi. Dari sisi penerima dinamakan hak, dan dari sisi pemberi dinamakan iltizam.
Dalam akad mu'awwadahah (saling menerima dan melepaskan) hak dan iltizam berlaku pada masing-masing pihak. Misalnya dalam akad jual beli, penjual berstatus sebagai multazim sekaligus sebagai shahibul haqq. Demikian juga dengan pembeli. Hal yang sama juga berlaku dalam akad ijarah. Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dalam akad mu'awwadhah, masing-masing mempunyai haksebagai penyeimbang atas kewajiban yang dibebankan kepadanya, atau masing-masing mempunyai kewajiban sebagai penyeimbang atas hak yang diterimanya.
Sumber-Sumber Hak
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa syariatdan aturan hukum merupakan sumber adanya suatu hak. Keduanya sekaligus merupakan sumber utama iltizam, sedangkan sumber yang lain adalah sebagai berikut;
Iltizam terhadap utang, pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yang berhutang secara langsung. Namun dalam kondisi tertentu, hukum Islam memberikan alternatif lain, yakni mengunakan akad hawwalah atau kafalah. Iltizamatas suatu perbuatan harus dipenuhi melalui perbuatan yang menjadi mahallul iltizam. Seperti kewajiban pekerja dalam akad ijarah, harus dipenuhi dengan melakukan pekerjaan tertentu, dan lainnya (Zuhaili,1989, IV, hal.23)
Akibat Hukum Suatu Hak
Pada prinsipnya, Islam memberikan jaminan perlindungan hak bagi setiap orang. Setipa pemilik hak boleh menuntut pemenuhan haknya. Apabila terjadi pelanggaran atau perusakan hak, maka pemilik hak dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi yang sepadan dengan haknya.
Dalam konteks ibadah (yang merupakan hak Allah), hak ini dilindungi dengan nilai-nilai agama, seperti janji Allah akan nikmat surga bagi yang menjalankan ibadah-Nya, atau juga berupa ancaman neraka bagi yang meninggalkannya. Di samping itu, terdapat lembaga hisbah yang berfungsi untuk menjalankan amar ma'ruf nahi mungkar.
Adapun hak anak Adam juga dilindungi dengan norma agama, seperti kewajiban setiap insan untuk menghormati hak orang lain atas harta, harga diri, atau darahnya. Apabila terjadi perselisihan dalam pemenuhan hak, maka pihak pemerintah atau hakim wajib memaksa pihak tertentu agar memenuhi hak orang lain.
Pada prinsipnya, Islam memberikan kebebasanbagi setiap pemilik untuk menggunakan haknya sesuai dengan kehendaknya, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Oslam. Atas dasar prinsip ini, pemilik hak dilarang mempergunakan haknya untuk bermaksiat, seperti menghambur-hamburkan uang untuk berjudi atau mabuk-mabukan. Dalam pandangan Islam, perbuatan tersebut hukumnya haram, dan pelakunya dipandang berdosa.
Kebebasan menggunakan hak, selain dibatasi dengan tidak bertentangan dengan syariat Islam juga dibatasi dengan 'tidak melanggar hak atau merugikan kepentingan orang lain'. Prinsip perlindungan hak dalam Islam berlaku pada dan untuk semua orang. Sehingga perlindungan kebebasan dalam menggunakan hak pribadi harus seimbang dengan perlindungan hak orang lain, terutamaperlindungan hak masyarakat umum. (Zuhaili,1989, IV, hal.25-29)
Jika dalam menggunakan haknya, seseorang bebas melanggar hak orang lain atau masyarakat umum, maka perlindungan hak menjadi tidak seimbang. Penggunaan hak secara berlebihan yang menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang lain atau masyarakat umumn dalam Islam disebut ta'asuf fi isti'malil haqq.
ta'asuf fi isti'malil haqq telah ditegaskan dalam Islam sebagai perbuatan terlarang dan berdosa. Di antara dalil yang menunjukkan larangan tersebut adalah sebagai berikut; QS. Al Baqarah:231 dan QS. An Nisa:12
Berdasarkan ayat ini, seseorang tidak boleh membuat wasiat apabila menimbulkan mudlarat terhadap ahli warisnya, sekalipun wasiat tersebut merupakan hak bagi setiap pemilik harta benda. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Sa'ad bin Abi Waqqash, ia berkata, aku bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai berikut;
"Wahau Rasulullah, aku adalah seorang yang kaya, aku tidak mempunyai ahli waris kecuali seorang anak wanita, bolehkah aku bersedekah 2/3 dari hartaku? Nabi menjawab,"Tidak" aku bertanya lagi kepadanya,"Bagaimana jika aku bersedekah 1/3 dari hartaku? Mabi menjawab,"Ya boleh, 1/3 adalah cukup banyak. Sungguh jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka meminta-minta kepada orang lain" (HR Muttafa 'Alaih)
Hadist ini menafsirkan keumuman QS. An Nisa:12 bahwasannya 1/3 harta merupakan batas maksimal hak kebebasan wasiat yang tidak menimbulkan kemudlaratan terhadap ahli waris. Namun pada prinsipnya, hadist tersebut melarang berwasiat yang menimbulkan kerugian atau resiko terhadap ahli waris. (Mas'adi, 2002, hal 39-41).
Selain didasarkan pada dalil-dalil sebagaimana tersebut di atas, larangan terhadap
ta'asuf fi isti'malil haqq didasarkan pada dua pertimbangan prinsip sebagai berikut;
Pertama, pada prinsipnya kebebasan dalam Islam tidaklah mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Yakni kebebasan menggunakan hak yang disertai sikap bertanggungjawab atas terpeliharanya hak dan kepentingan oorang lain. Pelaksanaan kebebasan secara mutlak menimbulkan konsekuensi kebebasan melanggar hak dan kepentingan orang lain. Hal ini hanya akan menimbulkan perselisihan dan pemusuhan antar sesama manusia.
Kedua, prinsip tauhid mengajarkan bahwa Allah adalah pemilik hak sesungguhnya, sedangkan hak yang dimiliki manusia merupakan amanat Allah yang harus digunakan sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dalam bahasa sosial, kehendak Allah dapat diterjemahkan sebagai 'kepentingan atas terpeliharanya kemaslahatan publik'. Oleh karena itu, penggunaan haksama sekali tidak boleh melanggar hak atau kepentingan masyarakat umum. (Zuhalili. 1989, IV, hal. 31)
Di antara jenis perbuatan yang tergolong dalam ta'asuf fi isti'malil haqq adalah sebagai berikut;
14 Ihtikar adalah penimbunan barang-barang dagangan (komoditas) yang dibutuhkan masyarakat banyak sehingga barang tersebut menjadi langka. Akibatnya harga barang tersebut menjadi naik dan pihak penimbun mendapat keuntungan yang sangat besar
Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq' yang memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau 'kewajiban' hal ini bisa dipahami dari firman Allah dalam QS. Al Anfal:8 atau juga dalam QS. Yunus:35
Secara istilah, hak memiliki beberapa pengertian dari para ahli fiqh. Menurut ulama kontemporer Ali Khofif, hak adalah sebuah kemashlahatan yang boleh dimiliki secara syar'i. Menurut Mustafa Ahmad Zarqa , hak adalah sebuah keistimewaan yang dengannya syara' menetapkan sebuah kewenangan (otoritas) atau sebuah beban (taklif). (Zuhaili, 1989, IV, hal.9)
Dalam definisi ini, hak masuk dalam ranah religi, yakni hak Allah atas hamba-Nya untuk beribadah, seperti shalat, puasa, zakat dan lainnya. Atau juga masuk dalam hak kehidupan madani, seperti hakkepemilikan, atau hak yang bersifat etik, seperti hak untuk ditaati bagi orang tua, hak untuk dipathi seorang isteri bagi seorag suami. Atau juga masuk dalam ranah publik, seperti hak pemerintah untuk dipatuhi rakyatnya, atau hak-hak finansial, seperti hak menerima nafkah, dan lainnya.
Kata kewenangan dalam defiisi di atas, adakalanya berhubungan dengan seseorang, seperti hak untuk dirawat (hadlanah) atau juga berhubungan dengan sesuatu yang definitif, seperti hak kepemilikan. Sedangkan kata 'taklif'adakalanya merupakan sebuah kewajiban atas diri manusia yang bersifat finansial, seperti membayar hutang, atau merealisasikan sebuah tujuan tertentu, seperti seoarang pekerja yang harus menyelesaikan pekerjaannya.
Dalam ajaran islam, hak adalah pemberian ilahi yang disandarkan pada sumber-sumber yang dijadkan sebagai sandaran dalam menentukan hukum-hukum syara' . Dengan demikian, sumber hak adalah kehendak atau ketentuan hukum syara'. tidak akan ditemukan sebuah hak syar'i tanpa adanya dalil syar'i yang mendukungnya
Dengan demikian, sumber hak adalah Allah SWT, karena tiada haim selain dia, tiada dzat yang berhak untuk mensyariatkan sesuatu, selain Allah.Tiada syariat yang dijalankan manusia, kecuali syariat-Nya. Untuk itu, manusia memiliki kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Di samping itu, pemilik hak harus menggunakan haknya secara proporsional, sehingga tidak menimbulkan kemudlaratan bagi orang lain.
Hak Allah
Adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyembah dan mengabdi pada-Nya, menegakkan syariat agama-Nya. Seperti segala bentuk ritual ibadah yang beragam, dari shalat, puasa, zakat, haji,amar ma'ruf nahi mungkar, dan ibadah lain yang sejenis. Atau bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi masyarakat publik yang tidak dikhususkan ada individu tertentu, seperti penegakkan hukum potong tangan bagi pencuri, penegakkan hukum atau had bagi para pezina, pemabuk atau pelaku tindak kriminal lainnya.
Hak Allah ini tidak bisa dilanggar ataupun digugurkan, tidak bisa ditolerir taupun dirubah. Had potong tangan bagi pencuri, tidak bisa digugurkan hanya arena orang yang kecurian memaafkan kesalahan pencuri. Selain itu, hak Allah ini tidak bisa diwaiskan. Ahli waris tidak diwajibkan untuk menanggung ibadajh yang yang ditinggalkan pewaris, kecuali mendapat wasiat, ahli waris juga tidak akan ditanya tentang kejahatan dan dosa pewaris
Hak Anak Adam
Adalah hak-hak yang dimaksudkan untuk menjaga kemashlahatan seseorang. Bisa bersifat umum, seperti menjaga kesehatan, merawat anak, harta benda, mewujudkan rasa aman, mencegah tindak kriminal, menghilangkan permusuhan, dan lainnya. Atau bersifat khusus, seprti menjaga kepemilikan, hak penjual atas harga dan hak pembeli atas obyek transaksi, hak ganti rugi seseorang yang hartanya dirusak, hak seorang isteri atas nafkah suami, dan lainnya. Hak anak dam bisa dilepaskan atau digugurkan dengan alasan tertentu, bisa juga diwariskan.
Hak anak Adam bisa dikatagorikan dengan hak yang bisa digugurkan dan hak yang tidak bisa digugurkan. Secara asal, hak anak Adam bisa digugurkan, berbeda dengan dzat (benda). Seperti qishas dan hak syuf'ah atau hak khiyar. Ada pun hak anak Adam yang tidak bisa digugurkan adalah sebagai berikut
- Hak-hak yang belum ditetapkankeberadaannya. Seperti keinginan istri untuk menggugurkan hak nafkahnya di masa mendatan, seorang pembeli yang menafikan hak khiyar ru'yah sebelum melihat obyek transaksi, dan hak lain yang sejenis. Hak ini tidak bisa digugurkan, karena hak tersebut belum ditemukan.
- Hak-hak yang telah ditetapkan syara' yang bersifat mengikat terhadap diri sesorang, seprti hak perwalian seorang ayah atau kakek terhadap anak dan cucunya, perwalian wakif terhadap barang wakaf, dan lainnya.
- Hak-hak yang apabiala digugurkan akan merubah hukum-hukum syara;. seperti hak orang yang memberikan hibah untu merujuk barang yang dihibahkan. Pemilik harta menggugurkan hak kepemilikannyaatas harta sehingga harta tersebut menjadi tidak bertuan. Hal i ni dilarang oleh syaa' ketika dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah. Allah berfirman dalam QS. Al Maidah:103
- Hak-hak yang terkait dengan hak orang lain, seperti hak seorang ibu untuk menerima perawatan, hak orang yang kecurian atas had pencuri. Hak ini tidak bisa digugurkan, karena berhubungan dengan hak orang lain.
Ulama hanafiyahmenyatakan, hak dan manfaat tidak bisa diwariskan. Karena, hukum waris hanya terkait dengan harta benda, sedangkan hak dan manfaat bukanlah harta. Ada pun hutang bisa diwariskan, karena ia merupakan harta secara hukum, dan bisa ditemukan dalam kekayaanorang yang berhutang. Ulama selain mdzhab Hanafiyah menyatakan, hak, manfaat dan hutang bisa diwariskan, karena semuanya merupakan harta. Hal ini dilandaskan pada sabda Rasululullah SAW:"Barang siapa meningalkan harta atau hak, maka untuk ahli warisnya, dan barang siapa meninggalkan beban atau keluarga, maka menjadi tanggunganku" (HR. Bukhati Muslim (Zuhaili, 1989, IV, hal. 18
Hak Musytarak
Persekutuan antara hak Allah dan hak anak Adam. Namun adakalanya hak Allah yang dimenangkan, dan sebaliknya. Misalnya masa iddah seorang isteri yang dicerai, dalam hal ini terdapat dua hak. Hak Allah berupa menjaga pencampuran nasab, dan hak manusia berupa menjaga nasab anaknya. Dalam konteks ini, hak Allah dimenangkan, karena menjaga pencampuran nasab lebih umum kemanfaatannya bagi masyarakat publik.
Contoh kedua, hak qishas bagi wali orang yang terbunuh. Dlam hak ini terdapat hak Allah, yakni membebaskan manusia dari tindak kriminal pembunuhan. Selain itu, terdapat hal wali orang yang terbunuh, yakni menghilangkan amarah dan kejengkelan, serta menenangkan hatinya dengan matinya orang yang membunuh keluarganya. Dalam konteks ini, hak anak Adam yang dimenangkan, karena tendensi diadakannya qishas adalah adanya persamaan.
Dalam contoh kedua, hak anak Adam yang dimenangkan. Implikasinya adalah hak tersebut bisa dinegoisasikan, wali orang yang terbunuh, dibolhkan untuk memaafkan dosa pembunuh, bisa diupayakan jalan damai dengan kompensasi yang disepakati, atau jalan lain yang disetujui bersama. (Zuhaili,1989, IV, HAL.13-17)
Hak Finansial
Adalah hak yang terkait dengan harta dan kemanfaatannya, hak yang obyeknya berupa harta atau manfaat. Seperti hak seorang penjual atas harga barang (uang), hak seorang pembeli atas obyek transaksi, hak syuf'ah, hak khiyar,hak penyewa untuk menempati rumah dan lainnya
Adapun hak non-finansial adalah hak yang terkait dengan segala sesuatu selain harta, seperti hak qishas, hak untuk hidup bebas, hak wanita untuk talak karena tdak diberi nafkah, hak sosial atau politik, dan lainnya
Hak Sykhsi dan Hak Aini
Hak syakhsi adalah hak yang ditetapkan syara' untuk kepentingan seseorang atas orang lain, seperti hak seorang penjual atas diserahkannya harga barang (uang) atau hak seorang pembeli atas diserahkannya obyek transaksi, hak seorang atas hutang, kompensasi finansial atas barang yang di ghasab atau dirusak, hak seorang isteri dan kerabat atas nafkah, atau hak seorang penitip atas barang yang dititipkan, untuk tidak digunakan oleh orang yang dititipi.
Hak 'aini adalah kewenangan yang ditetapkan syara' untuk seseorang atas suatu benda, seperti hak milik. Seorang pemilik benda memiliki kewenangan secara langsung atas harta benda yang dimilikinya. Ia memiliki kewenangan untuk memanfaatkan barangnya sesuai dengan kehendaknya, dan memiliki keistimewaan untuk menghalangi orang lain memanfaatkanya tanpa seizin pemiliknya
Dengan adanya pembagian hak syakhsi dan hak 'aini terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan;
- Hak 'aini bersifat permanen dan selalu mengikuti pemiliknya, sekalipun benda tersebut telah berada di tangan orang lain. Misalnya, harta milik seseorang telah dicuri lalu dijual kepada orang lain, maka pemilik seh harta tersebut bisa menuntut agar barang dikembalikan kepadanya
- Materi hak 'aini dapat berpindah tangan, sedang hak syakhsi tidak dapat berpindah tangan, melainkan melekat pada pribadi sebagai sebuah tanggung jawab atau kewajiban
- hak 'aini gugur apabila materi (obyek) hak hancur atau musnah, sedangkan syakhsi tidak akan gugur dengan hancur atau musnahnya materi. Karena hak syakhsi melekat pada diri seseorang kecuali pemilik hak meninggal. Misalnya, hak syakhsi dalam hutang piutang barang,sekali pun barang yang di hutang hancur, pemiliknya tetap berhak menagih pelunasan hutang tersebut. (Zuhaili, 1989, IV, hal. 20)
Hak Diyani dan Qadlai
Dari segi kewenangan hakim, hak dibagi menjadi hak diyani (hak keagamaan) dan hak qadlai (hak kehakiman). Hak diyani adalah hak-hak yang pelaksanaannya tidak dapat dicampuri atau diintervensi oleh kekuasaan negara atau kehakiman. Misalnya, dalam hal hutang ayau transaksi lainnya yang tidak dapat dibuktikan di depan pengadilan. Sekalipun demikian, di hadapan Allah tanggung jawab berhutang tetap ada, dan dituntut untuk melunasinya, sekalipun pengadilan memutuskan ia bebas dari tuntutan hutang.
Sedangkan hak qadlai adalah seluruh hak yang tunduk di bawah aturan kekuasaan kehakiman sepanjang si pemilik hak tersebut mampu dan membuktikan haknya di depan pengadilan.
Selain unsur lahiriyah. yakni perbuatan, unsur batiniyyah seperti niat dan esensi (hakikat) merupakan unsur penting dalam hak diyani. Sedangkan dalam hak qadlai semata dibangun berdasarkan kenyataan lahiriyah dengan mengabaikan unsur niat dan hakikat suatu perbuatan.
Seorang suami yang menjatuhkan talak terhadap isterinya secara ceroboh (khoto') dan tidak dimaksudkan secara sungguh-sungguh untuk menceraikannya, seorang hakim wajib memvonis hukum talak berdasarkan unsur lahiriyah. Yang demikian hukum qadlai. Sedang hukum diyani bisa jadi tidak jatuh talaknya, karena tidak ada niat mentalak. Oleh karena itu seseorang tidak diperkenankan bermain-main dengan kedua hak ini. (Zuhaili,1989,IV, hal. 22)
Antara Hak dan Iltizam
Substansi hak sebagai taklif atau keharusan yang terbebankan pada pihak lain dari sisi penerima dinamakan hak, sedang pelaku disebut iltizam. Secara bahasa, iltizam bermakna keharusan atau kewajiban. Sedangkan secara istilah adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu, atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu.
Pihak yang terbebani oleh hak orang lain dinamakan multazim, sedang pemilik hak dinamakan multazam ataushahibul haqq. Antara hak dan iltizam terdapat keterkaitn dalam sebuah hubungan timbal balik antara perbuatan menerima dan memberi. Dari sisi penerima dinamakan hak, dan dari sisi pemberi dinamakan iltizam.
Dalam akad mu'awwadahah (saling menerima dan melepaskan) hak dan iltizam berlaku pada masing-masing pihak. Misalnya dalam akad jual beli, penjual berstatus sebagai multazim sekaligus sebagai shahibul haqq. Demikian juga dengan pembeli. Hal yang sama juga berlaku dalam akad ijarah. Dengan demikian, pihak-pihak yang terlibat dalam akad mu'awwadhah, masing-masing mempunyai haksebagai penyeimbang atas kewajiban yang dibebankan kepadanya, atau masing-masing mempunyai kewajiban sebagai penyeimbang atas hak yang diterimanya.
Sumber-Sumber Hak
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa syariatdan aturan hukum merupakan sumber adanya suatu hak. Keduanya sekaligus merupakan sumber utama iltizam, sedangkan sumber yang lain adalah sebagai berikut;
- Aqad, yaitu kehendak kedua belah pihak (iradah al'aqidaini) untuk melakukan suatu kesepakatan (perikatan), seperti akad jual beli, sewa-menyewa dan lainnya
- Iradah al-munfaridah (kehendak sepihak, one side), seperti ketika seseorang mengucapkan sebuah janji atau nadzar
- Al-fi'lun nafi' (perbuatan yang bermanfaat), misalnya ketika seseorang melihat orang lain dalam kondisi yang sangat membutuhkan bantuan atau pertolongn, maka ia wajib berbuat sesuatu sebatas kemampuannya
- Al-fi'lu al-dlar (perbuatan yang merugikan), seperti ketika seseorang merusak, melanggar hak atau kepentingan orang lain, maka ia terbebani iltizam atau kewajiban tertentu
Iltizam terhadap utang, pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yang berhutang secara langsung. Namun dalam kondisi tertentu, hukum Islam memberikan alternatif lain, yakni mengunakan akad hawwalah atau kafalah. Iltizamatas suatu perbuatan harus dipenuhi melalui perbuatan yang menjadi mahallul iltizam. Seperti kewajiban pekerja dalam akad ijarah, harus dipenuhi dengan melakukan pekerjaan tertentu, dan lainnya (Zuhaili,1989, IV, hal.23)
Akibat Hukum Suatu Hak
Pada prinsipnya, Islam memberikan jaminan perlindungan hak bagi setiap orang. Setipa pemilik hak boleh menuntut pemenuhan haknya. Apabila terjadi pelanggaran atau perusakan hak, maka pemilik hak dapat menuntut ganti rugi atau kompensasi yang sepadan dengan haknya.
Dalam konteks ibadah (yang merupakan hak Allah), hak ini dilindungi dengan nilai-nilai agama, seperti janji Allah akan nikmat surga bagi yang menjalankan ibadah-Nya, atau juga berupa ancaman neraka bagi yang meninggalkannya. Di samping itu, terdapat lembaga hisbah yang berfungsi untuk menjalankan amar ma'ruf nahi mungkar.
Adapun hak anak Adam juga dilindungi dengan norma agama, seperti kewajiban setiap insan untuk menghormati hak orang lain atas harta, harga diri, atau darahnya. Apabila terjadi perselisihan dalam pemenuhan hak, maka pihak pemerintah atau hakim wajib memaksa pihak tertentu agar memenuhi hak orang lain.
Pada prinsipnya, Islam memberikan kebebasanbagi setiap pemilik untuk menggunakan haknya sesuai dengan kehendaknya, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Oslam. Atas dasar prinsip ini, pemilik hak dilarang mempergunakan haknya untuk bermaksiat, seperti menghambur-hamburkan uang untuk berjudi atau mabuk-mabukan. Dalam pandangan Islam, perbuatan tersebut hukumnya haram, dan pelakunya dipandang berdosa.
Kebebasan menggunakan hak, selain dibatasi dengan tidak bertentangan dengan syariat Islam juga dibatasi dengan 'tidak melanggar hak atau merugikan kepentingan orang lain'. Prinsip perlindungan hak dalam Islam berlaku pada dan untuk semua orang. Sehingga perlindungan kebebasan dalam menggunakan hak pribadi harus seimbang dengan perlindungan hak orang lain, terutamaperlindungan hak masyarakat umum. (Zuhaili,1989, IV, hal.25-29)
Jika dalam menggunakan haknya, seseorang bebas melanggar hak orang lain atau masyarakat umum, maka perlindungan hak menjadi tidak seimbang. Penggunaan hak secara berlebihan yang menimbulkan pelanggaran hak dan kerugian terhadap kepentingan orang lain atau masyarakat umumn dalam Islam disebut ta'asuf fi isti'malil haqq.
ta'asuf fi isti'malil haqq telah ditegaskan dalam Islam sebagai perbuatan terlarang dan berdosa. Di antara dalil yang menunjukkan larangan tersebut adalah sebagai berikut; QS. Al Baqarah:231 dan QS. An Nisa:12
Berdasarkan ayat ini, seseorang tidak boleh membuat wasiat apabila menimbulkan mudlarat terhadap ahli warisnya, sekalipun wasiat tersebut merupakan hak bagi setiap pemilik harta benda. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Sa'ad bin Abi Waqqash, ia berkata, aku bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai berikut;
"Wahau Rasulullah, aku adalah seorang yang kaya, aku tidak mempunyai ahli waris kecuali seorang anak wanita, bolehkah aku bersedekah 2/3 dari hartaku? Nabi menjawab,"Tidak" aku bertanya lagi kepadanya,"Bagaimana jika aku bersedekah 1/3 dari hartaku? Mabi menjawab,"Ya boleh, 1/3 adalah cukup banyak. Sungguh jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin sehingga mereka meminta-minta kepada orang lain" (HR Muttafa 'Alaih)
Hadist ini menafsirkan keumuman QS. An Nisa:12 bahwasannya 1/3 harta merupakan batas maksimal hak kebebasan wasiat yang tidak menimbulkan kemudlaratan terhadap ahli waris. Namun pada prinsipnya, hadist tersebut melarang berwasiat yang menimbulkan kerugian atau resiko terhadap ahli waris. (Mas'adi, 2002, hal 39-41).
Selain didasarkan pada dalil-dalil sebagaimana tersebut di atas, larangan terhadap
ta'asuf fi isti'malil haqq didasarkan pada dua pertimbangan prinsip sebagai berikut;
Pertama, pada prinsipnya kebebasan dalam Islam tidaklah mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab. Yakni kebebasan menggunakan hak yang disertai sikap bertanggungjawab atas terpeliharanya hak dan kepentingan oorang lain. Pelaksanaan kebebasan secara mutlak menimbulkan konsekuensi kebebasan melanggar hak dan kepentingan orang lain. Hal ini hanya akan menimbulkan perselisihan dan pemusuhan antar sesama manusia.
Kedua, prinsip tauhid mengajarkan bahwa Allah adalah pemilik hak sesungguhnya, sedangkan hak yang dimiliki manusia merupakan amanat Allah yang harus digunakan sebagaimana yang dikehendaki-Nya. Dalam bahasa sosial, kehendak Allah dapat diterjemahkan sebagai 'kepentingan atas terpeliharanya kemaslahatan publik'. Oleh karena itu, penggunaan haksama sekali tidak boleh melanggar hak atau kepentingan masyarakat umum. (Zuhalili. 1989, IV, hal. 31)
Di antara jenis perbuatan yang tergolong dalam ta'asuf fi isti'malil haqq adalah sebagai berikut;
- Apabila seseorang dalam mempergunakan haknya mengakibatkan pelanggaran terhadap hak orang lain atau menimbulkan kerugian terhadapkepentingan orang lain. Seperti kesewenangan dalam menggunakan hak rujuk dan hak wasiat
- Apabila seseorang melakukan perbuatan yang tidak disyariatkan dan tidak sesuai dengan tujuan kemaslahatan yang ingin dicapai dalam penggunaan hak tersebut. Misalnya seseorang yang melakukannikah tahlil^13. Dalam hal ini Rasulullah bersabda," Allah melaknat orang yang melakukan nikah tahlil dan yang memanfaatkan nikah tahlil". (HR Imam empat kecuali al Tarmidzi).
- Apabila seseorang menggunakan haknya untuk kemaslahatan pribadinya, tetapi mengakibatkan madlaratyang lebih besar terhadap orang lain. Atau kemaslahatan yang ditimbulkannya sebanding dengan madlaratyang ditimbulkannya, baik terhadap kepentingan pribadi, lebih-lebih terhadap kepentingan publik. Dlam hal ini Rasulullahbersabda:"Jangan (ada di antara kamu) melakukan aniaya dan jangan pula teraniaya" (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni). Atau misalnya praktik ihtikar^14, Rasulullah bersabda:"tidak ada orang yang melakukan ihtikar kecuali ia pendosa besar".
- Apabila seseorang menggunakan haknya tidak sesuai pada tempatnya atu bertentangan dengan adat kebiasaan yang berlaku serta menimbulkan madlarat terhadap orang lain. Misalnya membunyikan tape radio dengan keras sekali, sehingga mengganggu ketentraman para tetangga. Kecuali jika hal tersebut telah menjadi adat kebiasaan suatu masyarakat, seperti orang yang punya kerja memasang pengeras suara.
- Apabila seseorang menggunakan haknya secara ceroboh (tidak hati-hati) sehingga menimbulkan mudlaratterhadap pihak lain. (Zuhaili. 1989, IV, hal. 32-37)
14 Ihtikar adalah penimbunan barang-barang dagangan (komoditas) yang dibutuhkan masyarakat banyak sehingga barang tersebut menjadi langka. Akibatnya harga barang tersebut menjadi naik dan pihak penimbun mendapat keuntungan yang sangat besar
Langganan:
Postingan (Atom)